Kamis, 26 Juni 2008

Tanda Kebahagiaan dan Kesengsaraan

Tanda kebahagiaan seorang hamba ialah menyembunyikan amal kebaikannya di belakang punggungnya dan meletakkan amal keburukannya di depan matanya. Sedang tanda kesengsaraan seorang hamba ialah ia meletakkan amal kebaikannya di depan matanya dan menyembunyikan keburukannya di belakang punggungnya.

Ibnu Qayyim, Miftahu Daarus Sa'adah

Rabu, 18 Juni 2008

9 Pembangkit & Penawar Kemarahan


Kesombongan, ujub, sendau gurau, kesia-siaan, pelecehan, pencibiran, perdebatan, pertengkaran, penghianatan, ambisi pada harta dan kedudukan, semuanya adalah sebab pembangkit amarah. Tidak akan bisa menghilangkan sebab-sebab itu kecuali dengan kebalikannya:
1. Kesombongan harus dihilangkan dengan tawadhu'
2. 'Ujub dimatikan dengan mengenal diri
3. Kebanggaan dihapuskan dengan mengingat asal yang pertama.
4. Sendau gurau dihilangkan dengan kesibukanmenunaikan berbagai tugas agama yang akan menghabiskan umur yang ada
5. Kesia-siaan dihapuskan dengan keseriusan dalam mencari keutamaan, akhlaq yang baik, dan ilmu agama yang menghantarkan pada kebahagiaan akhirat.
6. Pelecehan di hapuskan dengan tidak menyakiti orang dan menjaga diri agar tidak dilecehkan oleh orang lain.
7. Pencibiran dihilangkan dengan menghindari perkataan yang buruk dan menjaga diri dari jawaban yang pahit.
8. Penghianatan dihapuskan dengan sikap jujur dan amanah
9. Ambisi untuk bermegah-megahan daihapuskan dengan qona'ah demi menjagi kemuliaan sikap merasa cukup dan demi menghindari hinanya mencari kebutuhan (Al Ghazali)

Selasa, 10 Juni 2008

7 perkara dan batasannya

Pertama, Nafsu syahwat ada batasnya, yaitu istirahatnya hati dan akal dari ketaatan dan mencapai keutamaan. Kedua, Istirahat ada batasnya, yaitu, mengumpulkan jiwa dan kekuatan sebagai persiapan untuk taat dn mencari keutamaan tanpa merasa bosan, maupun lelah. Ketiga, Kedermawaan ada batasnya, jika melebihi batas akan menjadikan berlebih-lebihan dan mubadzir, tetapi jika kurang akan menjadikan bakhil dan pelit. Keempat, Keberanian ada batasnya, yaitu maju pada saat dituntut maju, dan mundur saat dituntut mundur. Kelima, kecemburuan ada batasnya, jika berlebihan menyebabkan buruk sangka, dan jika melemah menyebabkan lalai dan masa bodoh. Keenam, tawadhu' ada batasnya jika berlebihan menjadikan hina dn rendah diri, jika melemah menjadikan sombong dan keras kepala. Ketujuh, kemuliaan ada batasnya, jika melebihi batas menyebabkan kesombongan dan jika melemah menyebabkan kehinaan dan rendah diri.

yang tepat dari semua sifat diatas adalahd kesederhanaan, yaitu pertengahan antara terlalu berlebihan dan terlalu kekurangan, karena diatas kesederhanaan itulah bangunan kemaslahatan dunia dan akhirat dapat ditegakkan.(Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam Al Fawaid)

Senin, 09 Juni 2008

'Malaikat' di Bandara Casablanca

Berulangkali, saya mencarinya di Bandara Casablanca, tetapi tidak pernah kutemukan pria bernama Moh Yassin. ’Malaikat’-kah Dia?

Saat itu, genap empat bulan setelah bersungkem pada ayah-bunda di Tanah Air. Saya kembali ke Maroko, negeri tempatku kini menempuh studi di universitas al-Qurawiyin (oleh para wisatawan Eropa biasa disebut al-Karawiyine) Maroko.

Ketika Qatar Airwaiys, pesawat yang kunaiki dari Jakarta-Casablanca, transit di Doha (Qatar) selama 18 Jam. Kebetulan mendapat fasilitas hotel al-Muntazah plaza, tidak jauh dari jantung kota Doha . Tentu saja saya tidak mungkin mengurung diri dalam kamar hotel sejak pukul 7.00 pagi itu, dalam benakku memutuskan untuk jalan-jalan.

Setelah sholat Ashar, saya pun berjalan kaki secukupnya di jantung ibu kota Negara yang waktu itu sedang menjadi tuan rumah Asian Games ke-15. Jujur saja saya lebih dari empat kali transit di bandara Doha , tetapi baru kali itu bisa jalan-jalan di jantung kotanya.

Tertarik ingin membeli beberapa barang kecil, utamanya makanan kecil, dalam benakku sekedar ingin ‘mencicipi’. Saya mendekati kotak Automatic Teller Machine (ATM) tertulis "Bank Islami" yang terletak di depan salah satu pusat perbelanjaan, dengan maksud mengambil sejumlah uang yang kubutuhkan.

Awalnya, saya tenang-tenang saja, sebab di ATM itu jelas terdapat logo; Mastercrad, Visa, dan logo lainnya tanda fungsi ATM Internasional, sehingga berdasar logo-logo itu, saya pun yakin bahwa kartu ATM milikku bisa difungsikan di situ.

Sungguh kaget, di luar dugaan, entah kenapa padahal sebelumnya orang silih-berganti tampak dengan normal bisa mengambil uang di situ. Tetapi ketika saya memasukkan kartu ATM, kok tiba-tiba eror? Kagetnya lagi, kartu ATM ’tertelan’ alias tidak bisa keluar. Sedangkan waktu setempat sudah menunjukkan pukul 19.00, tutup kantor. Apalagi hari Jum'at adalah hari libur setempat yang tidak memungkinkan saya untuk langsung menghubungi pihak bank.

Awal Kesedihan

Saya mulai gundah. Dalam hati, saya berdoa; "Semoga tidak terjadi apa-apa dengan sejumlah uang yang berada di rekeningku". Karena ketika itu, saya juga tidak bisa dan tidak mungkin menghubungi ke Indonesia (bank tempat saya buka rekening) untuk menutup kartu ATM yang tertahan di kotak ini.

Dengan perasaan tidak menentu, saya meninggalkan kotak ATM, seraya berpikir bagaimana nanti biaya transportasiku dari bandara Casablanca, ke kota tempat kuliahku yang jaraknya sangat jauh.

Tiba-tiba saya ingat, ketika di bandara Soekarno Hatta, Jakarta , ibuku sempat memasukkan sejumlah uang cash ke dalam saku jaket hitamku, entah berapa jumlahnya. Kurogo sakuku, sayangnya, ternyata bukanlah Dollar atau Euro atau mata uang asing yang bisa ditukar di negara mana saja, tapi hanya lembaran-lembaran Rupiah.

Meski demikian dengan sikap spekulasi saya pun ‘nekat’ mendekati money changer yang kebetulan buka (meskipun di luar jam kerja itu), namun pelayan yang tampangnya orang pekerja asal Pakistan atau India itu, dengan mengggunakan bahasa Arab langsung menolaknya ketika saya mengeluarkan sejumlah Rupiah dari saku jaketku.

Wajah Asia

Waktu setempat Adzan Maghrib sudah lama berkumandang dan dengan niat shalat maghrib dijama Ta'chir, dengan berjalan kaki sayapun memutuskan untuk kembali ke Hotel, tempatku transit.

Baru saja sekitar 30 menit berbaring di kamar no: 22 lantai 6 hotel itu. Tiba-tiba telepon disampingku berbunyi kuangkat: Suara dari sebrang berbahasa Inggris, "Para pengunjung hotel dipersilahkan turun untuk makan malam di restoran yang terletak di lantai dasar."

Restoran itu juga dibuka untuk umum, tidak hanya bagi tamu hotel. Keadaan restoran pun cukup ramai dengan wajah-wajah pribumi beserta keluarganya, bersurban, gamis dan para wanita ber-abaya meski banyak juga yang membuka niqob (cadar)nya. Jauh berbeda ketika kondisi makan siang, tak terlalu ramai.

Muaranya bertanya-tanya dalam hati, kenapa ketika saya duduk seorang diri di samping meja makan dan mengambil menu secukupnya dengan mengenakan kaos oblong dan jaket hitam, para pengunjung restoran (tampang pribumi) selalu saja melihat saya dengan tatapan sinis. Saya pun tetap bersikap tenang.

Selepas makan, saya berbincang-bincang kecil dengan seorang gadis berwajah Filipina yang bekerja sebagai resepsionis di hotel itu, dengan pendekatan ke-Asia-an (dengan bahasa Inggris) saya bertanya, "Kenapa kok para pengunjung restoran hotel ini selama saya berada di ruang makan tampak sinis memandang, padahal sebelumnya saya pernah singgah di negara-negara bagian Teluk lain, seperti Saudi dan lainnya, tetapi tidak seperti ini?"

Si gadis Filipina itu menjawab,"Bisa jadi mereka keanehan, ada wajah Asia nimbrung di meja makan restoran yang dikunjungi mayoritas oleh pribumi berkantong tebal, sedangkan mayoritas wajah Asia di sini hanya jadi pelayan. Dan memang biasanya mereka memandang rendah kepada orang Asia, karena di sini (Asia) dianggap bangsa kelas pembantu". Tandasnya. Setelah berpamitan, sayapun bergegas pergi meninggalkannya.

Pukul 22.00 waktu setempat. Saat itu 2 Desember 2006. Pihak hotel pun memberitahukan, bahwa para pengunjung akan melangsungkan perjalanan ke Casblanca, agar bersiap-siap menuju bandara Doha .

Letak Kesalahanku

Pukul 8.30. GMT, saya tiba di bandara Mohammad V, Casablanca, Maroko. Lebih dari satu jam lamanya saya berpikir. “Bagaimana untuk bisa sampai ke kota tempat kuliahku, sedangkan tidak ada sepeserpun uang yang bisa kupakai untuk naik kereta api, transportasi tunggal dari bandara?”

Dalam ketermenungan, saya berpikir apakah yang menyebabkan 'kesusahan' saya ini. Orang bijak bilang, “setiap hal ada sebabnya”. Tapi apa sebabnya?

Meditel (kartu Hand phone Maroko) pun saya aktifkan kembali, yang kusimpan selama berada di Indonesia. Bermaksud menghubungi kawan-kawanku di Maroko, tapi, nyatanya, tidak ada sepeserpun pulsa di dalamnya. Lengkaplah sudah.

Di tengah kegalauan, tiba-tiba ponselku berdering. Ibundaku dari Indonesia bertanya, "Kamu sudah sampai tujuan dengan selamat?"

Setelah menjawab seperlunya, tidak sengaja saya sepontan bilang, ”Bahwa saya sedang dalam masalah.” Dengan nada sedikit kesal, ibunda berkata, "Apa kamu ingat, ketika ibumu menyelipkan sejumlah uang tunai rupiah di saku jaketmu di bandara Jakarta . Ibu sudah bilang, tukar dulu rupiah ini di money changer, untuk bekal diperjalananmu, tapi waktu itu kamu tampaknnya tidak mengindahkan pesan ibu, kamu bilang cukup dengan kartu ATM yang kau pegang itu. Itulah akibatnya kalau kurang mengindahkan omongan ibumu".

”Jeweran” ibu mengingatkan atas kesalahanku. Saat itu juga, saya langsung memohon maaf pada ibunda. Dengan ringan Beliau pun memaafkanku.

"Pelayanan teknologi (ATM) bisa eror kapan saja. Tapi restu ibumu akan setia kapan dan di mana saja kamu berada, selagi kamu mengindahkan nasehatnya".

Sebelum telpon di putus, ibu sempat mendoakan, ”Semoga kamu mendapat jalan keluar."

Terbersit dianganku. Jika anak manusia selalu berusaha untuk mengindahkan (apalagi mentaati) sekecil apapun pesan-pesan orang tua, utamanya ibunya. Maka ia selalu meraih keberuntungan dan kemudahan segala urusannya dunia dan akhirat. Di antara contohnya ”Malin kundang”, di tengah kesuksesannya dihunjami adzab Tuhan, akibat kedurhakaan kepada ibunya. Na'udzu billah mindzalik.

Pergolakan Prinsip

Jam di dinding bandara Casablanca menujukan pukul 9.30. GMT.

Dengan berifikir cepat, saya sempat melirik beberapa barang ditanganku yang memungkinkan untuk bisa dijual dengan harga murah demi untuk mendapatkan ongkos meneruskan perjalanan. Diantaranya, ada hand phone Nokia N 72 (waktu itu harganya masih cukup lumayan), ada handy Cam Sony jenis mini, laptop, dan berbagai barang berharga lainnya.

Tetapi masih tetap terngiang di telinga pesan kedua orang tuaku, utamanya ibuku. Semenjak saya duduk di bangku pesantren tingkat SLTP, ibu pernah menasehati, "Anak-anakku, dalam kondisi bagaimanapun, jangan sekali-kali kamu menjual barang-barang yang kau pergunakan itu, karena sikap demikian berakibat tidak baik pada pribadimu".

Saya kembali termenung. Unsur Qowaid al-Fiqh pun sempat hinggap di benakku:”al-Hukmu yadurru ma’a illatihi a’daman wa wujudan”. Atau hal haram bisa menjadi halal sesuai tuntutan situasi dan kondisi. Seolah-olah pikiran semacam itu mendorongku untuk menjual sebagian barang-barangku, melanggar pesan ibuku. Demi mendapatkan ongkos.

Akan tetapi, perspektif tasawwuf, sungguh tidak baik jika melanggar pesan orang tua kedua kalinya, utamanya ibunda. Meskipun sekarang ini saya dalam kondisi sangat membutuhkan uang, demikian gumamku.

Di sisi lain saya menyadari, ketika di bandara Jakarta saya kurang mengindahkan pesan ibunda, tersebut di atas tadi. Dan 'kesusahan' ini akibatnya.

Berniat (belajar) selalu mentaati nasihat orang tuaku. Kuputuskan untuk tidak menjual barang apapun, apalagi laptop yang di dalamnya terdapat data-data penting.

Lagi-lagi, saya pun berspekulasi (seperti di Qatar tadi), sejumlah rupiah yang ada di saku kukeluarkan dan mendekati money changer, dan sudah kuperkirakan sebelumnya, di sanapun menjawab, "Di sini tidak menerima Rupiah". Demikian penjelasan mereka menggunakan bahasa Perancis, bahasa resmi di instansi-instansi Maroko itu.

Di depan money changer itu, saya berdiri dengan memegang dua tasku, diam berdo'a dalam hati tak terasa air mataku membasahi pipi, termenung, berpikir mencari jalan keluar, di tengah-tengah kejamnya kota Casablanca itu. Ya, Maroko memang bagian Negara Arab berpenduduk mayoritas Muslim, tetapi berbagai aspek hidup dan kehidupannya sudah terkena imbas Eropa, individualistis dan egoistisnya lebih kejam daripada Jakarta .

'Malaikat'

Di saat ketermenungan, tiba-tiba saya dikagetkan datangnya seorang laki-laki berpakaian dinas polisi bandara setempat. (Maaf), tangan kanannya buntung tanpa jari-jari. Sambil menepuk punggungku dia mengucapkan "Assalamu'alaikum".

Belum selesai menjawab ucapan,"Wa'alaikum salam". Dia berkata lagi (dengan bahasa Arab), "Wahai anak muda, kamu berasal dari negara bagian Asia, ya? Dan ada masalah apakah tampaknya kamu gusar?"

Saya menjelaskan secukupnya saja. Tiba-tiba dia mengeluarkan sejumlah Dirham (mata uang Maroko) dengan jumlah yang lebih dari cukup untuk ongkos yang saya butuhkan, ia membeberkan dan menyodorkannya ke saya.

Awalnya sayapun menolak, tapi ia memaksaku untuk menerimanya.

Baru saja saya menyentuh uang itu, ia buru-buru merogoh sakunya lagi, dan mengeluarkan sejumlah uang dalam bentuk Riyal Saudi dan Dollar Amerika (saya lupa jumlah persisnya), seraya berkata, "Ini uang tambahan. Kalau tadi kamu menukar uang (Rupiah, pen) ditolak, maka tukarlah uang-uang ini, kamu tidak akan ditolak lagi”. Tandasnya, seolah-olah dia tahu kalau sebelumnya saya menukar Rupiah dan ditolak, seraya Ia pun buru-buru ngeloyor pergi.

Saya buru-buru mencegat langkahnya. Dia bertanya: "Ada apalagi?"

"Bolehkah tau namamu?", tanyaku.

"Tidak perlu?"

"Bolehkan saya tahu nomer telponmu?"

"Tidak ada manfaatnya," tambahnya.

"Cukup besar uang yang kamu berikan padaku, maka ambillah salah-satu identitasku ini, entah passport, atau KTP (Maroko) atau kartu mahasisswa, besok atau lusa saya datang padamu untuk mengambilnya dan mengembalikan uang yang kau pinjamkan ini. Karenanya, saya minta nomer telpon antum," begitu pintaku.

Dengan tegas, ia menjawab, ”Saya tidak meminjamkan uang padamu, uang-uang itu adalah hakmu. Jika kapan-kapan kamu singgah di bandara Casablanca ini, cari saja namaku, Mohammad Yasin." Dan, pria baik hati itupun buru-buru pergi meninggalkanku yang saat itu masih kaget dan bercampur heran.

Dua minggu kemudian, dari Tetouan, kota tempat kuliah, saya menjemput kakaku yang baru datang dari Saudi Arabia di bandara Casablanca.

Mengenal peristiwa sebelumnya, saya sudah saya menyiapkan sejumlah uang dalam amplop, untuk saya kembalikan kepada orang yang mengaku bernama Mohammad Yasin tadi. Tetapi sesampainya di Bandara Casablanca, saya tak menemukan pria itu.

Sudah beberapa aparat dan kantor polisi bandara aku tanyai, tak ada orang bernama Mohammad Yasin.

Dua puluh hari kemudian, saya kembali lagi ke bandara Casablanca menjemput sahabatku mahasiswa universitas az-Zaituna Tunis yang berkunjung ke Maroko.

Saya pun kembali mencari orang yang bernama "Mohammad Yasin" di setiap pos dan kantor pegawai bandara, termasuk mengecek di pusat data pegawai bandara, namun ternyata saya tetap belum menemukannya, dan mayoritas pegawai di sana menjawab: "Di bandara ini tidak ada pegawai yang bernama Mohammad Yasin"

Jujur awalnya saya ragu menulis kisah ini. Tetapi karena pencarian itu sudah saya lakukan berulang- kali hampir satu tahun lamanya, kucari dan kucari dia setiap kali saya ada keperluan di bandara Casablanca. Namun belum kutemukan juga orang itu. Sampai saya buat tulisan ini. Jadi, siapakah Dia? Wallohu a'lam . [Nasrulloh Afandi. Sekarang sedang melanjutkan kuliah di Maroko. E-mail: gusgaul@yahoo.

Kendalikanlah perutmu

"Perut adalah sarang penyakit, dan berpantangan (menjaganya) adalah induknya obat" (Al Harists bin Kaldah/seorang dokter arab)

Hadist:

"Tidaklah seorang anak cucu Adam memenuhi bejana, yang lebih buruk dari (memenuhi) perutnya".

"Cukuplah bagi anak Adam memakan makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya, (jika harus lebih dari itu), maka sebaiknya 1/3 untuk jatah makanan, 1/3 untuk jatah minuman, dan 1/3 untuk jatah oksigen (udara)"

orang yang cerdas adalah yang menjadi pengendali (sayyid) dalam mewujudkan keinginanya dengan cara yang logis dan bijak. adapun fungsi makanan bukan karena kuantitasnya tetapi karena kualitas gizinya.

Jagalah lisanmu....

"Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir" (Qaaf: 18)

bahkan dalam kondisi tertentu lebih baik diam:

"Diam itu hikmah, tapi sedikit orang yang melakukannya" (Lukman Al-Hakim)

Perbedaan (pendapat) di antara ummatku adalah rahmat

"Perbedaan (pendapat) di antara ummatku adalah rahmat" (Al Qasim bin Muhammad*)

*Nama lengkapnya Al Qasim bin Muhammad bin abu Bakar ash Shiddiq. Imam panutan yang tegar (tsabit). Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Imam Ali bin Abu Thalib. Ia adalah anak emas pada masanya yang wafat pada tahun 107 H.

Berlaku seimbanglah dalam setiap urusan...

"Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya (Keseimbangan)" (Mutharrif bin Asy-Syakhir*)

*Nama lengkapnya Muthraf bin Abdullah bin Asy Syakhir. Ia seorang Imam teladan al hujjah. Lahir pada tahun perang badar dan perang uhud. ia wafat pada awal kepemimpinan al hajjaj.

Sholat Malamlah...

"Siapa yang banyak shalat di waktu malamnya, maka wajahnya akan elok pada siang harinya" (Syarik*)

*Nama lengkapnya Syarik bin Abdillah bin Abi Namir An Nakh'i al Kufi al qadhi. wafat tahun 77 H. ia termasuk seorang ulama hadist.

Muhasabah (Introspeksi diri)

”Hisablah diri kalian, sebelum diri kalian dihisab” (Umar bin al Khathab r.a)

Proporsional antara bekerja dan beribadah

”Bekerjalah untuk duniamu, seakan-akan engkau hidup selamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu, seakan-akan esok hari engkau meninggal dunia” ( Ibnu Umar r.a)

Berolah ragalah

”Ajarkanlah anakmu memanah, berenang, dan menunggang kuda” (Umar bin Al Khathab)

Hati-hati dengan lisanmu

“Siapa saja yang banyak omongannya, akan banyak kesalahannya” (Umar bin Al Khathab r.a)

Minggu, 08 Juni 2008

Keutamaan Abu Bakar, karena banyak amal baiknya

"Jika keimanan Abu Bakar ditimbang dengan keimanan penduduk bumi, maka (keimanannya) lebih unggul" (Umar bin al Khathab ra)

Keutamaan berfikir/bertafakkur

"Berfikir/bertafakkur sesaat, lebih baik daripada sholat semalaman" (Abu Darda r.a)

Abu Darda, nama lengkapnya adalah Umair bin Zayd Qais al Anshari al Khazraji, seorang bijak dan pemimpin para Qari di Dimasyqi, Masuk islam pada perang bada, wafat tahun 32 H

Sabtu, 07 Juni 2008

Direktur Itu Bersyahadat

Akhirnya, ”wanita menyebalkan” dengan tertawanya yang lepas dan bersuara keras itu mengucapkan dua kalimah syahadat dan memeluk Islam
Oleh: M. Syamsi Ali

Ketika pertama kali mengikuti kelas the Islamic Forum, wanita ini cukup menyebalkan sebagian peserta. Pasalnya, orangnya seringkali tertawa lepas, bersuara keras dan terkadang dalam mengekpresikan dirinya secara blak-blakan. Bahkan tidak jarang di tengah-tengah keseriusan belajar atau berdiskusi dia tertawa terbahak. Hal ini tentunya bagi sebagian peserta dianggap kurang sopan.

Theresa, demikian dia mengenalkan dirinya, sangat kritis dan agresif dalam menyampaikan pandangan-pandangannya. “From what I’ve learned I do believe Islam is the best religion”, katanya suatu ketika. “but why women can not express themselves freely as men?, lanjutnya.

Dalam sebuah diskusi tentang takdir dan bencana alam, tiba-tiba Theresa menyelah “wait..wait…what? I don’t think God will allow people to suffer”. Ternyata maksud Theresa adalah bahwa Allah itu Maha Penyayang dan tidak mungkin akan menjadikan hamba-hambaNya menderita. Dia menjelaskan bahwa tidak mungkin bisa disatukan antara sifat Allah Yang Maha Pemurah dan penyayang dan bencana alam yang terjadi di berbagai tempat.

Biasanya saya memang tidak terlalu merespon secara serius terhadap pertanyaan atau pernyataan si Theresa tersebut. Saya tahu bahwa dia memang memiliki kepribadian yang lugas dan apa adanya, dan sangat cenderung untuk merasionalisasi segala hal. Belakangan saya tahu bahwa Theresa dengan nama akhir (last name) Gordon, ternyata adalah direktur sebuah rumah sakit swasta di Manhattan. Kedudukannya itu menjadikannya cukup percaya diri dan berani dalam mengekspresikan dirinya.

Namun dalam tiga minggu sebelum Ramadan lalu, terjadi perubahan drastis pada sikap dan cara bertutur kata Theresa. Kalau biasanya tertawa terbahak apa adanya, dan bahkan tidak ragu-ragu memotong pembicaraan atau penjelasan-penjelasan saya dalam diskusi-diskusi di kelas, kini dia nampak lebih kalem dan sopan. Hingga suatu ketika dia bertanya: “Is it true that Islam does not allow the women to laugh loudly?” Saya mencoba menjelaskan kepadanya: “It depends on its context” jawabku.

“Some women or people laugh loudly for no reasons but an expression of bad attitude. But some others do laugh because that is their nature”, jelasku.

Maksud saya dalam penjelasan tersebut, jangan-jangan Theresa sering tertawa keras dan apa adanya memang karena tabiatnya. Bukan karena prilaku yang salah. Kalau memang itu sudah menjadi bagian dari tabiatnya, tentu tidak mudah merubahanya. Sehingga kalau saya terfokus kepada masalah ketawa, jangan-jangan dia terpental dan lari dari keinginannya untuk belajar Islam.

Suatu hari Theresa meminta waktu kepada saya setelah kelas. Menurutnya ada sesuatu yang ingin didiskusikan. Setelah kelas usai saya tetap di tempat bersama Theresa. “I am sorry Imam” katanya. “Why and what is the reason for the apology?”, tanyaku. “I think I’ve been impolite in the class in the past”, katanya seraya menunduk. “Sister Theresa, I have been teaching in this class for almost 7 years. Alhamdulillah, I’ve received many people with many backgrounds. Some people are very quite and some others are the opposite”, jelasku. “But I always keep in mind that people have different ways of understanding things and different ways of expressing things”, lanjutku.

Saya kemudian menjelaskan kepadanya karakter manusia dengan merujuk kepada para sahabat sebagai contoh. Di antara sahabat-sahabat agung Rasulullah SAW ada Abu Bakar yang lembut dan bijak, tapi juga ada Umar yang tegas dan penuh semangat. Ada Utsman yang juga lembut dan sangat bersikap dewasa, tapi juga ada Ali yang muda tapi tajam dalam pandangan-pandangannya. “Even between themselves, they often involved in serious disagreement”, kataku. Tapi mereka salaing mamahami dan saling menghormati dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada.

“Do you think I will be able to change?”, tanyanya lagi. Saya berusaha menjelaskan bahwa memang ada hal-hal yang perlu dirubah dari cara bersikap dan bertutur kata, dan itu adalah bagian esensial dari ajaran agama Islam. Tapi di sisi lain, saya ingin menyampaikan bahwa dalam melakukan semua hal dalam Islam harus ada pertimbangan prioritas. “I am sure, one day when you decide to be a Muslim, you will do so”, motivasi saya. “But don’t expect to change in one day”, lanjutku.

Hampir sejam kami berdialog dengan Theresa. Ternyata umurnya sudah mencapai kepala 4. Bahkan Theresa adalah seorang janda beranak satu wanita dan sudah menginjak remaja.

Hari-hari Theresa memang sibuk Sebagai direktur rumah sakit di kota besar seperti Manhattan, tentu memerlukan kerja keras dan pengabdian yang besar. Tapi hal itu tidak menjadikan Theresa surut dari belajar Islam. Setiap hari Sabtu pasti disempatkan datang walaupun terlambat atau hanyak untuk sebagian waktu belajar.

Sekitar dua minggu sebelum Idul Adha, Theresa datang ke kelas sedikit lebih awal dan nampak berpakaian rapih. Selama ini biasanya berkerudung untuk sekedar memenuhi peraturan mesjid, tapi hari itu nampak berpakaian Muslimah dengan rapih. “You know what, I’ve decided to convert”, katanya memulai percakapan pagi itu. “Alhamdulillah. You did not decide it Sister!”, kataku. “When some one decides to accept Islam, it’s God’s decision”, jelasku.

Beberapa saat kemudian beberapa peserta memasuki ruangan. Saya menyampaikan kepada mereka bahwa ada berita gembira. “A good news, Theresa have decided to be a Muslim today”. Hampir saja semua peserta yang rata-rata wanita itu berpaling ke Theresa dan menyalaminya. “So the big lady will be a Muslim?”, kata salah seorang peserta. Memang Theresa digelari “big lady” karenanya sedikit gemuk.

Menjelang shalat Dhuhur, saya meminta Theresa untuk mengambil air wudhu. Sambil menunggu adzan Dhuhr, saya kembali menjelaskan dasar-dasar islam secara singkat serta beberapa nasehat kepadanya. Saya juga berpesan agar kiranya Theresa dapat menggunakan posisinya sebagai direktur rumah sakit untuk kepentingan Islam. “Insha Allah!”, katanya singkat.

Setelah adzan dikumandangkan saya minta Theresa untuk datang ke ruang utama masjid. Di hadapan ratusan jama’ah, Theresa mempersaksikan Islamnya: “Laa ilaaha illa Allah-Muhammadan Rasul Allah”. Allahu Akbar! [www.hidayatullah.com]

New York, December 24, 2007

* Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com

Jumat, 06 Juni 2008

Pembunuh dan terbunuh masuk neraka

Dari Abu Bakrah bahwa Nabi Saw bersabda : “Apabila dua orang Muslim saling bertarung dengan menghunus pedang mereka, maka pembunuh dan yang terbunuh, keduanya masuk neraka.” [Shahih Bukhari dan Shahih Muslim]

Minggu, 01 Juni 2008

Ummu Jamil; wanita yang tergelincir yang diabadikan dalam Al-Qur’an

“Binasalah kedua tangan Abu lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah bermamfaat baginya harta benda dan apa yang diusahakannya. Kelak dia akan masuk dalam api neraka yang bergolak. Dan begitu pada istrinya, pembawa kayu bakar, yang dilehernya ada tali dari sabut.” (Al Lahab : 1-5)

Ummu Jamil dan suaminya Abu Lahab, dikenal jahat, mereka juga egois dan rakus. Ummu Jamil hanya memiliki satu mata. Itulah sebabnya dia membenci seluruh ummat manusia. Kegemarannya adalah memfitnah dan mengadu domba. Kebencian Ummu Jamil paling mendalam ditujukan kepada keponakannya sendiri, Muhammad saw. Ia tak suka karena Muhammad mengajak kepada sekalian manusia untuk mengikuti jejaknya menyambut seruan Islam.

Tiap pagi Ummu Jamil mengumpulkan duri-duri, lalu ditaburkan di depan rumah Muhammad. Setelah duri-duri itu berserakan, barulah ia merasa puas dan pulang ke rumahnya.

Suatu hari Ummu Jamil mendengar Rasulullah melantunkan surat Al Lahab 1- 5. bertambahlah kebenciannya dia pergi ke sekitar ka’bah dan berteriak dengan suara lantang, ”Kita enyahkan muhammad, dan agamanya kita tolak, dan perintahnya jangan kita patuhi!”

Ummu Jamil meninggal dalam keadaan lemah ketika memaksakan diri untuk menabur duri di depan rumah Muhammad. Belum selesai duri itu ditaburkan, malaikat maut telah mencabut nyawanya. Kehidupan wanita pendengki itu berakhir di pinggir jalan.

Dikutip dari : Hidayatullah, shafar 1427 / Maret 2006

Zulaikha

“Dan wanita-wanit itu berkata, istri Al Aziz mengoda bujangnya untuk menundukkannya kepadanya, sesungguhnya cintanya pada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata”. (Yusuf:30)

Zulaikha dan suaminya Al Aziz telah lama menikah, namun belum dikaruniai anak, suatu hari Al Aziz pulang kerumah membawa seorang anak yang sangat tampan. Dialah nabi Yusuf as. Setelah besar ketampanan Yusuf memikat hati Zulaikha. Suatu malam, ketika Al Aziz pergi menghadap raja dan akan pulang menjelang subuh, Zulaikha memamfaatkan kesempatan untuk merayu Yusuf. Ia masuk ke kamar Yusuf dan hendak memeluknya.

Awalnya Yusuf sempat tergoda, Namun berkat pertolongan Allah, Yusuf terhindar dari fitnah ini, Ia berlari kepintu. Zulaikha segera menarik gamis Yusuf dari belakang hingga robek. Al Aziz pulang, Zulaikha tetap tenang, dan dengan tipu daya berkata pada suaminya, “apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu selain dipenjarakan atau dihukum dengan azab yang pedih”. (Yusuf : 25)

Tiba-tiba seorang wanita dari keluarga Zulaikha datang sambil mengendong bayinya yang masih menyusui, secara ajaib bayi itu berkata “Jika baju gamisnya robek di muka, maka wanita itu benar, sedang Yusuf termasuk orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya robek di belakang, maka wanita itulah yang dusta, sedang Yusuf termasuk yang benar” (Yusuf: 26 – 27)

Buru-buru al aziz memeriksa baju Yusuf. Ternyata , yang robek bagian belakang. Sadarlah Al Aziz bahwa istrinya telah berkhianat. Dia berkata pada Zulaikha, “sesungguhnya kejadian itu adalah di antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu besar” (Yusuf: 28).

Dikutip dari : Hidayatullah, shafar 1427 / Maret 2006