Minggu, 30 November 2008

Penggodok Batu


KH. Rahmat Abdullah (alm)

Sampai hari ini saya belum dengar ada yang menyalahkan sang ibu yang menggodok batu, agar anaknya tertidur lantaran tak ada lagi bahan makanan yang dapat dimasak. Mungkin sejarah akan sangat kecewa bila Khalifah II Umar bin Khatab ra tidak segera dating dan serta merta pergi ke gudang logistic negara, lalu bergegas memanggulsendiri tepung yang akan mengubah batu menjadi roti.

Hari ini sejarah melihat banyak ibu merebus apa saja termasuk kucing (kebablasan) , agar anak-anakya tidak tidur, alias mati kelaparan. Sementara ada banyak orang yang terus menerus menjajikan batu (terigu), namun tak pernah membuktikannya, padahal secara pribadi mereka lebih kaya dari Umar.

Sebagian pembaca mungkin terperanjat dan segera menyergah: "nah, betul kan, agama itu candu untuk rakyat?"

Tunggu dulu, tuan. Agama bukan candu rakyat. Tuan boleh katakana: "agama itu batu dan terigu buat rakyat".

Di banyak tempat rakyat melempar batu karena tak dapatkan terigu. Di Palestina rakyat melempar batu kea rah Zionis yang kepala serta hati mereka terbuat dari batu. Hati serdadunya boleh jadi terigu yang meleleh melihat prajurit kecil yang tak kunjung selesai melempar batu. Para Politisi dan Rabi (tokoh agama Yahudi) nya berhati batu, bahkan lebih keras dari pada batu, karena batupun masih " ....dapat mengeluarkan air" (QS 2:74)

Palestina tidak punya senjata lain kecuali batu. Itulah agama yang paling primitif, agama batu, yang sangat ditakuti Yahudi dan sangat efektif di zaman ultra modern ini, minimal untuk sekedar mengingatkan bahwa Palestina masih ada dan tetap siap berlaga.

Pada saat batu-batu berterbangan dari arah demonstran ke aparat keamanan, mereka menjadi "sabda kebenara" yang tak dapat diganggu gugat. Jangan tanya manusiawi atau tidak. "hari ini makan rezeki batu," kata serdadu yang kelelahan menahan hujan batu dan tak boleh mambalas.

"Buat kredibilitas kita, ini batu sandungan," kata para pengambil keputusan, seraya berfikir bagaimana menyusun press release. Dengan tujuan yang sangat berbeda, para bonek menggunakan batu untuk menghancurkan genteng dan kaca rumah penduduk serta kereta api. "Jubuul kuroh" (gila bola) telah ikut memanfaatkan senjata intifadah untuk menggugat entah siapa.

Dari apa terbuat hati para provokator kerusuhan Ambon, teror Banyuwangi, teror Dili, Larantuka, Abepura, Poso, Kupang, Sambas, bahkan 14 mei 1998? Juga hari petawur antar sekolah dan antar gang? Semoga tidak ada yang menjawab: "dari batu, atau tak terbuat dari apa-apa alias tak punya hati."

Di banyak kawasan, rakyat yang punya semangat kerja sepakat membangun, entah masjid atau madrasah. Kelak, dari kasus-kasus pembangunan yang tak selesai munculpemeo "pakar batu pertama", karena tak pernah selesai dengan batu terakhir.

Dalam jajaran para Rasul, Muhammad SAW yang datang paling akhir menjadi penutup dan penyempurna. Dengannya bangunan agama ini menjadi jelas wujud dan karakteristiknya. "perumpamaan aku dan para Nabi sebelumku, seperti seseorang yang membangun rumah. Setiap Nabi telah meletakkan batu pada tempatnya. Tinggallah satu batu penjuru yang belum. Akulah yang menggenapinya. " (HR Bukhari & Muslim)

Kursi dan Batu

Berbahagialah mereka yang tak tahu politik. Berbahagialah mereka yang tak tahu arti kebahagiaan. Lebih berbahagia lagi mereka yang tak tahu politik dan mau berpolitik untuk menjinakkan politik. Karirnya sebagai penjinak politik.

Mengapa orang begitu sinis dengan politik? Barangkali karena kecewa dengan ulah para politisi.

Mereka mengumpulkan batu-batu untuk menyusun tangga yang akan menyampaikan mereka ke puncak kekuasaan dan memborong seribu kursi perwakilan. Mereka boleh bersiap jika yang merekawakili marah dan mulai melempar batu. Siapa peduli penyelesaian maslaah demi masalah yang di wariskan generasi lampau. Rakyat memang hanya punya satu senjata; protes dan satu kesempatan; sekarang! Selebihnya urusan para pengambil keputusan. Si licik tinggal impor terigu dengan jaminan harga diri dan kehormatan bangsa. Yang lebih berbahaya bila kursi yang diperebutkan dengan kelelahan mendaki tangga-tangga batu telah merobah hati manusianya menjadi batu. Bahkan ada kader partai yang sebelum mendapat kursi hatinya bertukar batu. Dusta, nifaq, intrik, khianat dan egoisme adalah lelehan najis yang keluar dari hati yang batu. Ditingkahi cairan sifat suka menjilat dan rekayasa ayat, lengkap sudah pentas perpolitikan dipenuhi biang laknat.

Batu Ujian

Partai anda partai orang-orang bersih? Tidak ada jaminan pribadi otomatis baik. Klaim dan imitasi adalah sifat khas ahli kitab sepanjang masa yang ditolaknya hanya terpola satu pemikiran: "takkan masuk sorga kecuali Yahudi dan Nasrani" QS 2:111

Silahkan masuk lewat pintu Yahudi dan Nasrani. Pintu Islam hanya terbuka bagi mereka yang :

".... menyerahkan dirinya kepada Allah seraya terus ihsan, maka ia berhak mendapat ganjaran di sisi rabbnya, tiada mereka mendapatkan kesedihan." (QS 2:112)

Kalau ada kanker yang menggerogoti agama-agama, maka di antaranya bisa berbentuk umat yang hanya bangga dengan status, tak peduli dengan nilai dan kualitas, lalu menjadikan simbol status itu sebagai gincu saja atau alat justifikasi kezaliman.

Dalam Pesan untuk bangsa-bangsa Timur Iqbal menyindir:

Cuma gereja, kuil, masjid dan rumah berhala

Kau bangun lambang-lambang penghambaanmu

Tak pernah dalam hati kau bangun dirimu

Hingga kau tak bisa jadi utusan mereka

Era da'wah kelembagaan yang mengambil bentuk aprpol adalah era setiap orang berpacu dan bergiat dalam kendaraan kolektifnya, dengan segala kreasi besar, walau sekecil apapun langkah uang bisa diayunkannya dan huruf-huruf sejarah yang bisa dipahatnya. Bila popularitas yang dipanen hari ini dianggap sebagai buah dari benih yang ditanam hari ini juga, maka genap sudah kedunguan yahudi dalam diri sang aktivis, tepatnya sang parasit.

Yang malas kembali ke surau-surau dan gubug-gubug untuk mengeja kata demi kata pesan suci yang telah membesarkan komunitas ini. Yang lebuh bernafsu mendeklamasikan do'a dengan suara menggeram, memaksa orang menangis di siang terang, lalu ia sendiri tertidur dengan mendengkur sampai pagi melewati malam-malam, tanpa sujud, tanpa do'a, tanpa rintihan. Perutnya terlalu kenyang dengan jamuan pertemuan, sementara gelap malam telah melindunginye dari intaianpenilai dungu yang mengira betapa panjang tahajudnya, betapa lirih do'anya, betapa bening hatinya!

Ia resah mempertahankan identias da'wahnya, gelisah dan ingin cepat-cepat kembali gita cinta zaman SMA, lalu menginginkan rapat-rapatnya benar-benar rapat laki-laki dan perempuan, bergurau bebar, berbaur lepas. Lepas dari norma-norma santrinya.

Yang meluncur dengan janji-janji politik yang tak bisa dipenuhinya, si pandir yang menggunakan forum walimah dan bakti sosial untuk mendikte orang lain menerima partainya yang `paling hebat', tanpa melihat bibir mereka yang mencibir jama'ahnya.

Yang mulai grogi seraya mencari celah berlari ketika satu bunga Al-Qur'an gugur sebagai syahid da'wah. Ingatlah; Musa pun pernah ngeri melihat tantangan besar di hadapannya, namun ia tak larut dalam perasaan takut yang manusiawi namun tidak imani.

Batu Sendi

Kader, sesungguhnya nama harum harimu dibangun di atas fakta-fakta yang berakar dalam ke masa lalu, ketika da'wah ini bermula. Di gubug-gubug gang sempit lahirnya. Berpeluh di kendaraan umum dalam rute-rute panjang aktivisnya.

Menapak jalan-jalan kota dan desa, nyaris tanpa sepatu kadernya. Mengorbankan nikmat tidur dengan pulang larut pagi. Jauh dari hingar bingar massa yang menyambut dengan gegap gempita. Lapar dan haus jadi kata yang asing untuk dieja pada entri kamusnya, karena telah berganti dengan kesenangan menghirup sepuasnya hati telaga Al-Qur'an. Adapun Sa'ad dan Mush'abnya, telah meninggalkan gedung bapaknya yang megah, tanpa suara duduk bersimpuh di rumah-rumah Arqam bin Abi Arqam yang tanpa papan nama, tanpa grup musik, mitos atau tokoh kharismatik. Yatimlah anak-anaknya, karena tak satu bapak mau mengakuinya.

Adapun Khadijah, Fatimah dan Sumayyahnya terusir dari kelas-kelas sekolah yang dibangun dengan pajak umatnya karena tak mau melepaskan pakaian taqwa menutup aurat mereka. Tanpa pemasaran catwalk rumah-rumah butik yang hari ini menjamur, tanpa bayar riyalti kepada korban yang diusir dari sekolah mereka. Mendunia kebangsaannya tanpa kehilangan kecintaan yang tulus kepada puak sendiri.

Bila ada yang bangga dengan kelompok, suku atau bangsa, segera rajaz melantunjan dari mulut Salmannya:

"Ayahku islam dan tak ada lagi bapak selainnya. Bila mereka berbangga dengan Qais atau Tamim"

Dan dalam kerja, semboyan ini meningkat gelora jiwanya menepiskan semya pengandalan status dan nama besar:

"Siapa yang lamban amalnya, tak dapat dipercepat oleh nasabnya"