Sabtu, 26 Juli 2008

Bosnia 1995 (Renunganku)


Oleh Eko Prasetyo
Menjelang bulan suci Ramadhan ini, saya teringat dengan kejadian pada September 2007. Saat itu, ada salah seorang rekan kami yang akan dikirim ke Sarajevo, Bosnia, untuk meliput kegiatan Ramadhan warga di sana. Sayang, dia tidak jadi meliput karena mengalami masalah saat transit di Bangkok.

Ketika itu, dia bermaksud melanjutkan penerbangan ke Austria untuk transit sebelum menuju ke Sarajevo. Namun, pihak bandara di Bangkok justru memeriksa ketat paspor dan visa rekan saya tersebut. Hal yang diskriminatif. Pasalnya, di antara puluhan calon penumpang Austrian Airlines, hanya dia yang diperiksa. Apakah karena dia orang Indonesia? Entahlah.

Namun, berbicara tentang Bosnia, saya sangat bersyukur mendengar Radovan Karadzic telah tertangkap pada 22 Juli 2008 setelah 13 tahun buron. Bukan apa-apa, dia adalah tokoh keji yang mengakibatkan ratusan ribu muslim Bosnia tewas dalam Perang Bosnia (1992-1995). Sedangkan ratusan ribu warga muslim Bosnia lainnya dikabarkan hilang.

Karadzic adalah mantan presiden Serbia-Bosnia yang merancang dan memerintahkan perang di daratan Eropa yang paling mengerikan sejak Perang Dunia II. Saat perang tersebut mulai berkecamuk (1992), saya masih SD. Namun, kelak sekian tahun kemudian, saya mulai menyadari betapa kejam tindakan Karadzic dan Jenderal Ratko Mladic yang masih belum tertangkap.

Saya sedikit tahu tentang tokoh ini dari literatur asing yang saya baca. Saya begitu geram saat membaca ulang tentang peristiwa Srebrenica pada Juli 1995. Dalam peristiwa tersebut, sekitar 8.000 pria muslim Bosnia yang tak berdaya tanpa senjata dibantai tentara Serbia. Pembantaian itu terjadi setelah tentara Serbia menerobos penjagaan tentara PBB asal Belanda yang bertugas melindungi pengungsi muslim Bosnia di sana.

Selanjutnya, jasad para warga muslim tersebut dibuldoser dan dikuburkan dalam satu lubang besar. Masya Allah. Perang telah mengoyak hati saudara-saudara muslim nun jauh di sana. Mereka juga kehilangan sanak saudara dan harta benda. Perang Bosnia memang telah lama berakhir.

Namun, sisa-sisa kepedihan itu tentu masih ada. Lalu, benak saya terbawa pada perjuangan kaum muslimin di Palestina. Negeri mereka dilanda perang dan pertikaian yang tak kunjung usai melawan Israel. Darah selalu tumpah setiap hari di konflik Timur Tengah. Malam-malam di kantor setelah deadline, saya membalik kembali lembaran-lembaran buku tentang amalan hati. Secangkir kopi dan bulan sabit di balik kaca kantor menghangatkan suasana dini hari itu.

Saya bergumam lirih, ”Alhamdulillah saya berada di negeri yang merdeka.” Tertitip doa untuk saudara-saudara kami, kaum muslimin Bosnia dan Palestina. Semoga perjuangan mereka menjadikan cerminan bagi bangsa ini agar kita selalu bersyukur kepada Allah. Tidak terus menodai kemerdekaan dengan sikap amoral yang tercela. prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Kamis, 17 Juli 2008

7 Perkara Aneh


Imam Ibnul Qayyim dalam Al Fawaid mengingatkan tentang tujuh perkara aneh yang sangat berbahaya bagi mnusia. Pertama, engkau tahu Allah, tetapi engkau tidak mencintai-Nya. Kedua, engkau mendengar seruan Allah, tetapi engkau terlambat menjawab seruan-Nya. Ketiga, engkau tahu keuntungan jika bergaul dengan-Nya, tetapi engkau justru bergaul dengan selain-Nya. Keempat, engkau tahu kemarahan-Nya, tetapi engkau justru memancing-mancing murka-Nya. Kelima, engkau tahu betapa sakit adzab-Nya jika menentang-Nya, tetapi engkau tidak meminta belas kasihan kepada-Nya dengan mentaati-Nya. Keenam, engkau merasa sakit hati jika tidak menyebut nama-Nya, tetapi engkau justru tidak mau menyebut nama-Nya dan tidak bertaubat kepada-Nya. Ketujuh, dan yang lebih aneh lagi, engkau tahu bahwa engkau sangat membutuhkan-Nya, tetapi engkau justru berpaling dari-Nya dan mencintai yang menjauhkan.

Senin, 14 Juli 2008

”Adzan itu Masih Terngiang di Telingaku”


Selasa, 10 Juli 2007
Wanita yang bekerja di kantor PBB New York ini akhirnya memutuskan memeluk Islam. Suara adzan, diantara yang ikut membawanya menuju Islam

M. Syamsi Ali

Hidayatullah.com--Sabtu 9 Juni lalu, saya datang ke Islamic Cultural Center of New York lebih awal. Selain ingin melihat dari dekat jalannya Weekend School (sekolah akhir pekan), juga sekretaris menelpon kalau ada seseorang yang ingin bertanya tentang Islam. Saya minta agar dipersilahkan datang setelah Zuhur sehingga bergabung dengan the Islamic Forum for non Muslims, kelas khusus setiap pekan bagi orang-orang non-Muslim yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai ajaran Islam. Tapi rupanya, orang tersebut hanya bisa sebelum jam 12 siang itu.

Sekitar pukul 11 pagi masuklah seorang wanita bule dengan kerudung yang rapih. Saya sedikit terkejut sebab ketika masuk ke ruangan saya dia mengucapkan salam dengan sangat fasih, bahkan hampir saja saya mengira kalau yang bersangkutan itu adalah orang Syam (Palestina, Jordan atau Libanon).

Saya kemudian mempersilahkannya duduk dan bertanya: “Hi, what’s your name and where are you from?” Dengan sedikit tersenyum dia menjawab: “Hi,. I am Jemie. I am from here but my parents are from Texas”. Saya ingin tahu kefasihan dia dalam bersalam, maka saya tanya: “How come you said salaam in way that’s so perfect? I tended not to believe that you’re an American”. “Oh..I know Arabic and speak it fluently” jawabnya cepat.

Mendengar itu, saya balik stir dari Inggris ke Arab. “Aena darasti al Arabiyah?” tanyaku. “Darastuha fi Suriyah, lakin qabla sanawaat”, jawabnya. Tanpa terasa percakapan saya dengannya memakan waktu cukup panjang dalam bahasa Arab, termasuk kenapa sampai belajar bahasa Arab di Suriah dan untuk apa. Dari penjelasannya, ternyata dia bekerja di Kementrian Luar Negeri dan sekarang ini pindah tugas di DPI (Department of Public Information) PBB New York.

Saya kemudian memulai bertanya tentang keinginannya mengetaui Islam. “I know a lot about Islam. Basically I am coming this morning because I feel this is the right time for me”, katanya. “What do you mean the right time?” tanyaku. Dengan sedikit serius dia menjelaskan: “For the last many years, about 10 years, I have been so confused and struggling within my self”. “Why is that?” tanyaku dengan sedikit heran.

Tiba-tiba saja, Jemie yang tadinya nampak tegar dan selalu tersenyum itu, kini meneteskan airmata. “You know, I tried my best not to this”, katanya sambil mengusap air matanya. “Why is that?” tanyaku. “This may kill my career” katanya agak gusar. Saya kemudian bertanya dengan serius: “What do you mean killing your career?”. Seolah memaksakan tersenyum, Jemie mengatakan bahwa dia khawatri kalau masuk Islam akan susah meniti karir yang lebih tinggi.

Saya kemudian bertanya lebih jauh: “Why do you think in that way?”. Ternyata karena pengalaman yang dia lihat selama ini di beberapa negara Muslim. Menurutnya, mayoritas wanita Muslim di negara-negara Muslim tidak bekerja dan lebih memperioritaskan dirinya kepada pekerjaan-pekerjaan rumah saja.

Saya kemudian mencoba menjelaskan ke Jemie bahwa tidak ada peraturan dalam Islam yang membatasi karir kaum wanita. Walau memang perlu diketahui bahwa karir itu akan dilihat kepada prioritas-prioritas tuntutan hidup. Kalau seandainya menjadi ibu rumah tangga itu menjadi tuntutan utama bagi wanita, dan ketika dipaksakan untuk meniti karir di luar maka berarti terjadi “kesemrawutan” dalam hidup.

Dari penjelasan-penjelasan yang cukup panjnag itu nampaknya Jemie sudah banyak tahu. Cuma ada semacam ketakutan tersendiri bahwa nantinya setelah menjadi Muslim dia akan dilarang untuk berkarir. “In fact, Islam wants all Muslim women to be professional. Didn’t you read the hadith that commands the women to study as men?”, jelasku.

Kini Jemie nampak lebih tenang. Hampir tidak berbicara dan bahkan beberapa kali saya pancing untuk bertanya juga tidak dihiraukan. Tiba-tiba saja sekali lagi nampak berlinang airmata dan mengatakan: “I have some thing to tell you!” “What’s that?” tanyaku. Dia dengan nampak serius sekali walaupun terus meneteskan airmata mengatakan: “When I was in Syria around ten years ago, I was so impressed with the Adzan”. Saya mengatakan bahwa memang adzan orang-orang Suriah itu indah. “Their voice is softer than other Arabs, kata saya. “But I swear, that adzan never gone from my ear. I feel being listening to it all the time” katanya serius.

Tanpa sadar, saya langsung mengatakan “Subhanallah!”. Ternyata dia juga sudah tahu maknanya. Saya kemudian mengatakan: “Sister, God is loving you. Your heart is being attached to the divine inspiration, and I am sure you are being blessed with that”. Nampak Jemie hanya menangis mendengar nasehat-nasehat saya itu.

Akhirnya, setelah memanggil dua saksi, Jemie dengan berlinang airmata secara resmi menerima Islam sebagai jalan hidupnya yang baru. Allahu Akbar!

Semoga Jemie selalu dikuatkan di jalanNya! Amin!

New York, 18 Juni 2007

* Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com.

Sabtu, 12 Juli 2008

Muhasabah Jiwa


Metode untuk mengatasi kekuasaan nafsu ammarah atas hati seorang mukmin adalah dengan selalu mengintrospeksi dan menyelisihinya. Imam Ahmad meriwayatkan, Umar bin Khaththab berkata, "Hisablah dirimu sebelum dihisab! Sesungguhnya berintropeksi bagi kalian pada hari ini lebih ringan daripada hisab di kemudian hari. Begitu juga dengan hari 'aradl (penampakan amal) yang agung."

Hasan al-Bashri berkata, "Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia mengintrospeksi dirinya karena Allah. Sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan ringan bagi mereka yang telah mengadakannya di dunia. Dan sebaliknya hisab akan berat bagi kaum yang menempuh urusan ini tanpa pernah berintrospeksi. Seorang mukmin itu bisa saja dikejutkan oleh sesuatu dan ia takjub kepadanya. Lalu berkatalah ia, 'Demi Allah, aku benar-benar menginginkanmu. Begitupun kamu adalah bagian dari kebutuhanku. Tetapi, allah tidak memberi alasan bagiku untuk mencapaimu. Duhai, ada jurang diantara kau dan aku!' Maka sesuatu itu pun lenyap dari hadapannya. Kemudian si mukmin akan kembali kepada dirinya dan berkata, 'aku tidak menginginkan hal ini! Apa peduliku dengan semua ini! Demi Allah aku tidak akan mengulanginya selama-lamanya!' Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang ditopang oleh Al-Qur'an. Al-Qur'an menghalangi kehancurannya. Seorang mukmin adalah tawanan di dunia yang berusaha membebaskan diri (menuju negerinya: akhirat). Dia tidak merasa aman sampai berjumpa dengan Allah. Dia tahu bahwa pendengaran, penglihatan, lisan, dan anggota badan, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban."

Malik bin Dinar bertutur,"Semoga Allah merahmati seseorang yang berkata kepada diri (nafsu)nya, 'Bukankah kamu pelaku ini? Bukankah kamu pelaku itu?' Lalu ia mencelanya dan mengalahkannya. Kemudian dia memulazamahkan dirinya kepada kitab Allah, sehingga menjadi pemimpinnya."

Adalah benar bagi setiap orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa taala dan hari akhir untuk tidak melupakan introspeksi kepada nafsunya, menyempitkan ruang geraknya, dan menahan gejolaknya. Sehingga, setiap hembusan nafas adalah mutiara yang bernilai tinggi, dapat ditukar dengan perbendaharaan yang kenikmatannya tak akan pernah sirna sepanjang masa. Menyia-nyiakan nafas ini, atau menukarnya dengan sesuatu yang mendatangkan kecelakaan adalah kerugian yang sangat besar. Tidak dapat mentolerirnya kecuali manusia paling bodoh dan paling tolol. Hanya saja, hakekat kerugian ini baru benar-benar tampak nanti di hari kiamat.

"Pada hari setiap jiwa mendapati segala kebaikan yang dilakukannya dihadirkan dan juga segala kejahatan yang dilakukannya. Ia ingin ada penghalang yang panjang antara dia dan kejahatannya."(QS Ali Imran: 30)

Muhasabah (menginstrospeksi diri) itu ada dua macam, sebelum beramal dan sesudahnya.

Muhasabah sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang berhenti sejenak, merenung di saat pertama munculnya keinginan untuk melakukan sesuatu. Tidak bersegera kepadanya sampai benar-benar jelas baginya bahwa melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya.

Hasan al-Bashri berkata, "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berpikir di saat pertama ia ingin melakukan sesuatu. Jika itu karena Allah ia lanjutkan dan jika bukan karena-Nya ia menangguhkannya."

Sebagian ulama menjelaskan penuturan al-Hasan ini dengan, 'Apabila diri tergerak untuk melakukan sesuatu, pertama-tama ia harus merenung, apakah amalan itu mampu ia kerjakan atau tidak. Jika tidak ada kemampuan untuk itu hendaknya ia berhenti. Tetapi jika ia mampu, hendaknya ia berpikir, apakah melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya, ataukah sebaliknya. Jika yang ada adalah kemungkinan kedua, maka ia mesti meninggalkannya. Tetapi jika yang pertama, hendaknya ia bertanya, apakah faktor pendorongnya adalah untuk mendapatkan wajah Allah subhanahu wa ta'ala dan pahalanya, ataukah untuk mendapatkan kehormatan, pujian dan harta benda. Jika jawaban yang kedua yang muncul, hendaknya ia meninggalkannya. Meskipun jika ia melakukannya ia akan mendapatkan apa yang dicarinya. Ini sebagai pelatihan bagi diri agar tidak terbiasa dengan kesyirikan dan supaya takut beramal untuk selain Allah.

Semakin takut seseorang untuk beramal karena selain Allah, semakin ringan baginya untuk beramal karena Allah subhanahu wa ta'ala. Tetapi jika yang muncul adalah jawaban yang pertama, sekali lagi ia harus bertanya, apakah dia mendapatkan bantuan untuk itu? Atau adakah teman-teman yang akan membantu dan menolongnya- jika amalan itu tidak bisa dikerjakan sendirian? Jika tidak ada, ia harus menahan diri sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah menahan diri dari memerangi musyrikin Mekah sampai terkumpul kekuatan dan kaum penolong. Adapun jika ia dibantu, hendaknya ia maju beramal, dengan izin Allah subhanahu wa ta'ala ia akan mendapat kemenangan. Dan adalah kemenangan itu tidak akan terlepas kecuali jika salah satu dari perkara-perkara di atas terlepas. Sekali lagi, dengan mengadakan hal-hal di atas kemenangan tidak akan terlepas. Itulah empat perkara yang harus dicermati oleh seorang hamba sebelum ia beramal.

Muhasabah sesudah beramal itu ada tiga:
1. Introspeksi diri atas berbagai ketaatan yang telah dilalaikan, yang itu adalah hak Allah subhanahu wa ta'ala. Bahwa ia telah melaksanakannya dengan serampangan, tidak semestinya. Padahal hak Allah subhanahu wata'ala berkaitan dengan satu bentuk ketaatan itu ada enam. Yaitu, ikhlas dan setia kepada Allah subhanahu wa ta'ala di dalamnya, mengikuti Rasulullah shalallahu alaihi wa salam, menyaksikannya dengan persaksian ihsan, menyaksikannya sebagai anugerah Allah subhanahu wa ta'ala baginya, dan menyaksikan kelalaian dirinya di dalam mengamalkannya. Demikian, ia harus melihat apakah dirinya telah memenuhi keseluruhannya?

2. Introspeksi diri atas setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan.
3. Introspeksi diri atas perkara yang mubah, karena apa ia melakukannya. Apakah dalam rangka mengharap Allah subhanahu wa ta'ala dan akhirat, sehingga ia beruntung? Ataukah untuk mengharapkan dunia dan keserbabinasaannya, sehingga ia merugi?

Akhir dari perkara yang dilalaikan, tidak disertai dengan muhasabah, dibiarkan begitu saja, dianggap mudah dan disepelekan adalah kehancuran. Ini adalah keadaan orang-orang yang tertipu. Ia pejamkan matanya dari berbagai akibat kebejatannya sambil berharap Allah subhanahu wa ta'ala mengampuninya. Ia tidak pernah peduli kepada muhasabah dan akibat kejahatannya. Pun jika ia melakukannya, dengan segera ia akan berbuat dosa, menekuninya dan ia akan sangat kesulitan meninggalkannya.

Kesimpulan dari uraian ini, hendaknya seseorang itu mengintrospeksi diri lebih dahulu pada hal-hal yang fardlu. Bila ia melihat ada kekurangan padanya, ia akan melengkapinya dengan qadla' (penggantian) atau ishlah (perbaikan). Lalu kepada hal-hal yang diharamkan. Bila ia merasa pernah melakukannya, ia pun bersegera untuk bertaubat, beristighfar, dan mengamalkan perbuatan-perbuatan baik yang dapat menghapuskan dosa. Kemudian kepada kealpaan. Bila ia mendapati dirinya telah alpa berkenaan dengan tujuan penciptaannya, maka ia segera memperbanyak dzikir dan menghadap Allah subhahanu wa ta'ala. Lalu kepada ucapan-ucapannya, atau kemana saja kakinya pernah berjalan, atau apa saja yang tangannya pernah memegang, atau telinganya pernah mendengar. Apa yang diinginkan dari semua ini? Mengapa ia melakukannya? Untuk siapa? Dan sesuaikah dengan petunjuk?

Sesungguhnya setiap gerakan atau ucapan itu akan dihadapkan pada dua pertanyaan, untuk siapa dikerjakan? dan bagaimana cara pengerjaannya? Pertanyaan pertama tentang ikhlas dan yang kedua tentang mutaba'ah (kesesuaian dengan sunnah)

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
"Supaya (Allah) memintai pertanggungjawaban orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka." (QS Al-Ahzab 8).

Apabila orang-orang yang benar saja dimintai pertanggungjawaban atas kebenarannya, dan dihisab atasnya, lalu bagaimana dengan orang-orang yang dusta?

Faedah Muhasabah

1. Mengetahui aib diri
Barangsiapa tidak mengetahui aib dirinya sendiri, tidak mungkin mampu membuangnya. Yunus bin 'Ubaid berkata, "Aku benar-benar mendapati seratus bentuk kebajikan. Tetapi kulihat, tidak ada satu pun yang ada pada diriku."

Muhammad bin Wasi' berkata, "seandainya dosa-dosa itu mempunyai bau, sungguh tidak ada seorang pun yang sanggup duduk di dekatku."

Imam Ahmad meriwayatkan, Abu Darda' berkata, "Seseorang itu tidak memahami agama ini dengan baik sampai ia membenci orang lain karena Allah subhanahu wa ta'ala, kemudian ia kembali kepada nafsunya dan ia lebih membencinya lagi."

2. Mengetahui hak Allah terhadapnya.

Hal itu akan membuatnya mencela nafsunya sendiri serta membebaskannya dari ujub dan riya'. Juga membukakan pintu ketundukan, penghinaan diri, kepasrahan dihadapan-Nya, dan keputusasaan terhadap dirinya sendiri. Sesungguhnya keselamatan itu hanya dapat dicapai dengan ampunan dari Allah subhanahu wa ta'ala dan rahmat-Nya. Merupakan hak Allah subhanahu wa ta'ala untuk ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak dikafiri.

Diambil dari: Tazkiyah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf; Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hambali, Imam Ghazali; Penerbit Pustaka Arafah

Senin, 07 Juli 2008

Long Live Education

“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya dengan belajar.” [HR. Bukhari]

Kamis, 03 Juli 2008

Syaitan Ikut Mabit & Makan Bersama

e
Oleh Ihsan Tandjung

Salah satu karakter utama seorang bertaqwa ialah beriman kepada perkara yang ghaib. Seorang muttaqin tidak hanya meyakini adanya alam nyata, tetapi juga mengimani alam ghaib yang tidak tampak secara kasar. Salah satu makhluk halus yang termasuk alam ghaib adalah makhluk ciptaan Allah subhaanahu wa ta’aala bernama syaitan. Syaitan tidak dapat dilihat manusia namun mereka dapat melihat dan mengganggu kita.


يَا بَنِي آَدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآَتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya `auratnya. Sesungguhnya ia (syaitan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS Al-A’raaf ayat 27)

Syaitan merupakan musuh Allah subhaanahu wa ta’aala dan musuh orang-orang beriman. Mereka merupakan keturunan iblis yang telah menyebabkan bapak ummat manusia yakni Nabiyullah Adam ’alaihis-salam tergelincir sehingga dikeluarkan Allah subhaanahu wa ta’aala dari surga dan ditempatkan di muka bumi yang fana. Allah subhaanahu wa ta’aala memerintahkan kita agar waspada menghadapi tipu-daya syaitan. Allah ta’aala juga menyuruh kita memperlakukan syaitan tanpa kompromi dan selalu memelihara spirit permusuhan dengannya.

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

”Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Faathir ayat 6)

Syaitan sangat serius dan berambisi mengajak manusia menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala sebab mereka mewarisi perjuangan nenek-moyangnya Iblis yang telah bertekad dihadapan Allah ta’aala untuk menyesatkan manusia dengan taktik menjadikan manusia memandang baik perbuatan durhaka atau maksiat kepada Allah ta’aala di muka bumi.

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ
وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

”Iblis berkata, "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma`siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka."” (QS Al-Hijr ayat 39-40)

Berdasarkan ayat di atas syaitan ternyata tidak berdaya ketika berhadapan dengan manusia yang ikhlas dalam beribadah kepada Allah ta’aala. Sebab orang yang mukhlis adalah orang yang tidak perlu dibujuk lagi untuk beribadah dan beramal sholeh. Mereka mengerjakan semuanya semata karena ingin meraih Ridha Allah ta’aala. Mereka sudah bersih dari berbagai kepentingan dunia dalam berbuat kebaikan. Menghadapi yang seperti ini syaitan jelas kehabisan akal. Sebab syaitan hanya sukses menggoda orang yang masih bisa diiming-iming dengan berbagai hal yang bersifat duniawi yang fana. Namun bila seseorang telah menyadari dan meyakini bahwa dunia ini hanya mengandung kesenangan yang menipu dan bahwa akhiratlah tempat berharap yang sejati, maka syaitan jelas kehabisan bahan bakar untuk menyesatkannya.

Salah satu tipu-daya yang syaitan sering lakukan ialah membuat seorang manusia lupa dzikrullah (mengingat Allah). Lupa mengingat Allah ta’aala bisa mengundang kehadiran syaitan ke dalam rumah kita sehingga mereka leluasa menginap, bahkan leluasa menyantap dan menikmati makanan kita padahal tidak pernah kita niatkan membagi mereka.


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ
سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ لَا مَبِيتَ لَكُمْ وَلَا عَشَاءَ وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمْ الْمَبِيتَ وَإِذَا لَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمْ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya dia pernah mendengar Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Apabila seseorang masuk ke dalam rumahnya, lalu ia menyebut nama Allah ta’aala ketika masuk dan ketika menghadapi makanannya, maka syaitan akan berkata kepada teman-temannya: ‘Tidak ada tempat bermalam maupun makan malam untuk kalian di sini.’ Tetapi sebaliknya, apabila ia masuk ke dalam rumahnya tanpa menyebut nama Allah pada waktu masuknya, maka syaitanpun akan berkata: ‘Kalian mendapatkan tempat bermalam’. Dan bila ia tidak menyebut nama Allah ta’aala ketika menghadapi makanannya, maka syaitanpun berkata: ’Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam sekaligus’.”(HR Muslim 10/293)

Ya Allah, janganlah Engkau biarkan kami lalai mengingatMu tatkala kami pulang dan masuk ke dalam rumah kami sendiri agar syaitan tidak ikut bermalam di rumah kami.


Ya Allah, janganlah Engkau biarkan kami lalai mengingatMu tatkala kami menghadapi santapan makan kami agar syaitan tidak ikut serta menyantap makanan kami.


Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan mukhlasin.
Amin ya Rabb.-

http://www.eramuslim.com